Dewasa ini efek rumah kaca yang memicu pemanasan global, menjadi sorotan tajam semua negara. Padahal di zaman purba, efek rumah kaca justru memicu munculnya kehidupan yang beragam.
Para pakar iklim mengkhawatirkan, jika terjadi pemanasan global, akan terjadi bencana hebat yang amat merugikan umat manusia. Para pakar iklim mengkhawatirkan, meningkatnya suhu Bumi beberapa derajat Celsius dari suhu rata-rata sekarang ini, akan mencairkan lapisan es di kedua kutub. Dampaknya muka air laut akan naik beberapa meter
. Hal ini akan mengakibatkan musnahnya negara-negara kepulauan kecil atau negara yang ketinggiannya sejajar dengan permukaan laut. Tapi betulkan pemanasan global selalu berdampak negatif?
Ternyata sejarah iklim Bumi menunjukan, efek rumah kaca dan pemanasan global justru memicu munculnya kehidupan. Kajian paleo-klima, yakni iklim di zaman purba menunjukan, sejak 4,3 milyar tahun lalu di Bumi sudah diproduksi gas rumah kaca alami, terutama methan dan karbon-dioksida. Hal ini menyebabkan efek rumah kaca yang menghangatkan suhu Bumi, menjadi rata-rata 15 derajat Celsius. Jika tidak ada pemanasan global, suhu Bumi ketika itu diperkirakan rata-rata minus 18 derajat Celsius, karena intensitas energi matahari pada awal pembentukan Bumi, hanya 70 persen dari intensitasnya sekarang.
Para pakar paleo-klima bertanya, gas rumah kaca alami apa yang menyebabkan efek rumah kaca itu? Mula-mula diduga gas rumah kaca karbondioksida dari aktivitas gunung api, yang menyebabkan efekr rumah kaca purba tsb. Akan tetapi, selama dua dekade para ahli terus memperdebatkan intensitasnya. Karena efek gas rumah kaca karbondioksida dari aktivitas gunung api, menurut perhitungan jauh lebih lemah dari fakta yang ada. Barulah pada tahun 1995 lalu, kelompok peneliti dari Universitas Harvard di Cambridge-Massachussets, di bawah pimpinan Prof. Dr. Rob Rye mematahkan teori karbondioksida tsb.
Diketahui, jika Karbondikosida bereaksi dengan oksida besi, tanpa kehadiran oksigen, akan terbentuk mineral besi-karbonat yang disebut Siderite. Reaksi untuk memicu terbentuknya mineral Siderite, membutuhkan konsentrasi gas karbondioksida sekitar delapan kali lipat dari konsentrasi gas karbondioksida sekarang ini. Akan tetapi, penelitian geologi dari zaman pra-Kambrium sekitar 2,3 milyar tahun lalu, samasekali tidak menemukan mineral Siderite. Artinya konsentrasi gas karbondioksida purba, jauh lebih sedikit dari saat ini.
Methanogen
Ternyata yang memanaskan Bumi, di zaman itu adalah gas Methan. Mikro organisme yang disebut methanogen, yang hidup dalam habitat bebas oksigen, memproduksi gas methan yang cukup untuk memanaskan Bumi, agar tidak membeku. Untuk menciptakan efek rumah kaca sekuat itu, para peneliti dari NASA, memperhitungkan konsentrasi karbondikosida di atmosfir sekitar dua persen. Artinya, diperlukan volume gas karbondioksida 50 kali lipat dari volume saat ini. Tapi hanya dibutuhkan 0,1 persen konsentrasi gas Methan, untuk menjada agar Bumi tidak membeku.
Selama sekitar dua milyar tahun, mikro organisme methanogen berkembang biak di Bumi yang dipenuhi aktivitas vulkanisme. Methanogen mengkonsumsi karbondioksida dan hidrogen, yang dimuntahkan gunung api, dan memproduksi gas methan sebagai produk buangan. Selama milyaran tahun konsentrasinya menjadi cukup besar, untuk menyebabkan efek rumah kaca dan pemanasan global di Bumi. Diperkirakan, suhu Bumi ketika itu, rata-rata 33 derajat Celsius atau jauh lebih panas ketimbang suhu rata-rata selama 100.000 tahun terakhir ini. Ketika produksi gas methan melebihi konsentrasi satu promile, sistem thermostat global di atmosfir bekerja, dengan mengubah methan menjadi rantai polymer panjang yang menghalangi cahaya matahari. Terjadi semacam penyejukan suhu global.
Akibatnya, pada zaman Kambrium yakni sekitar 542 juta tahun lalu, terjadi apa yang disebut eksplosi biologi di permukaan Bumi. Dalam artian, tiba-tiba keanekaragaman hayati meningkat secara drastis. Dalam waktu hanya 40 juta tahun, jumlah biomassa yang menjadi cikal bakal organisme modern semakin banyak jenisnya. Pemicunya diduga emisi oksigen ke atmosfer, yang membunuh mikro-organisme methanogen, tapi memunculkan semakin banyak organisme lain yang berderajat lebih tinggi.
Thermostat alami
Juga yang amat menarik, Bumi ternyata memiliki thermostat alami lainnya, yang mencegah fluktuasi temperatur secara dramatis. Yakni sistem sirkulasi Karbonat-Silikat global. Seperti diketahui, sekitar 60 persen dari seluruh mineral di Bumi adalah keluarga silikat. Karbondioksida yang terurai dalam air hujan, membentuk ikatan dengan Kalsium dari lapisan batuan silikat, menjadi senyawa kalsium-hidrogen-karbonat yang kemudian biasanya terbawa aliran air ke laut. Sedimennya kemudian mengendap di dasar lautan. Sedimen di dasar laut itu, juga tidak statis, tapi terbawa oleh gerakan kerak Bumi.
Di jalur-jalur penujaman, gas rumah kaca karbon dioksida kembali dilepaskan ke atmosfir. Sirkulasi gas karbon dioksida ini, membentuk semacam thermostat yang juga mengatur suhu Bumi. Akan tetapi, situasi di alam tidak sepenuhnya dalam kondisi setimbang. Berkali-kali Bumi mengalami apa yang disebut runtuhnya sistem iklim secara tiba-tiba. Jika sistem thermostat kollaps, Bumi mengalami zaman es global. Apa yang terjadi di zaman Kambrium diduga juga merupakan dampak dari zaman es global itu. Ketika Bumi mendingin, organisme penghasil oksigen berkembang biak mendesak organisme methanogen.
Mesin iklim Bumi, yang dipengaruhi intensitas energi matahari, serta komposisi keanekaragaman hayati dan aktivitas Bumi sendiri, terus bekerja hingga kini. Bedanya, di zaman modern ini, aktivitas manusia sangat mempengaruhi komposisi gas rumah kaca di atmosfir. Gejala pemanasan global kini mulai muncul dengan jelas dimana-mana. Kacaunya pola iklim, bencana alam, kebakaran hutan, mencairnya lapisan es di kutub atau naiknya muka air laut, merupakan tanda-tanda perubahan iklim secara dramatis. Pemicunya, yakni manusia, juga ketakutan akan dampak aktivitasnya.
Efek pemanasan global
Dipertanyakan, bagaimana nasib Bumi jika pemansan global terus terjadi. Para pakar geologi mengatakan, model komputer yang dibuat, menunjukan Bumi masih akan eksis selama beberapa milyar tahun lagi. Kondisi Bumi pelan-pelan akan kembali ke kondisi pada awal terbentuknya. Dalam waktu satu setengah milyar tahun lagi, suhu Bumi diperkirakan akan mencapai rata-rata 70 derajat Celsius.
Akibatnya jumlah keanekaragaman hayati, akan kembali ke kondisi di zaman pra-Kambrium, yakni menyusut tajam dan melulu terdiri dari binatang bersel tunggal yang tahan panas ekstrim. Tahun 1967 lalu, pakar astrofisika Jerman, Albrecht Unsöld meramalkan, dalam 3,5 milyar tahun mendatang, intensitas Matahari akan meningkat empat puluh persen. Bumi yang bersuhu super panas akan kering kerontang dan semua kehidupan musnah. Ketika matahari berubah menjadi bintang raksasa merah, yang menelan hampir semua planet di tata surya, kehidupan sudah musnah tiga milyar tahun sebelumnya. Jadi manusia tidak perlu khawatir, karena dipastikan tidak akan ada lagi yang dapat menyaksikan kiamat tsb.
[dw-world.de]
Para pakar iklim mengkhawatirkan, jika terjadi pemanasan global, akan terjadi bencana hebat yang amat merugikan umat manusia. Para pakar iklim mengkhawatirkan, meningkatnya suhu Bumi beberapa derajat Celsius dari suhu rata-rata sekarang ini, akan mencairkan lapisan es di kedua kutub. Dampaknya muka air laut akan naik beberapa meter
. Hal ini akan mengakibatkan musnahnya negara-negara kepulauan kecil atau negara yang ketinggiannya sejajar dengan permukaan laut. Tapi betulkan pemanasan global selalu berdampak negatif?
Ternyata sejarah iklim Bumi menunjukan, efek rumah kaca dan pemanasan global justru memicu munculnya kehidupan. Kajian paleo-klima, yakni iklim di zaman purba menunjukan, sejak 4,3 milyar tahun lalu di Bumi sudah diproduksi gas rumah kaca alami, terutama methan dan karbon-dioksida. Hal ini menyebabkan efek rumah kaca yang menghangatkan suhu Bumi, menjadi rata-rata 15 derajat Celsius. Jika tidak ada pemanasan global, suhu Bumi ketika itu diperkirakan rata-rata minus 18 derajat Celsius, karena intensitas energi matahari pada awal pembentukan Bumi, hanya 70 persen dari intensitasnya sekarang.
Para pakar paleo-klima bertanya, gas rumah kaca alami apa yang menyebabkan efek rumah kaca itu? Mula-mula diduga gas rumah kaca karbondioksida dari aktivitas gunung api, yang menyebabkan efekr rumah kaca purba tsb. Akan tetapi, selama dua dekade para ahli terus memperdebatkan intensitasnya. Karena efek gas rumah kaca karbondioksida dari aktivitas gunung api, menurut perhitungan jauh lebih lemah dari fakta yang ada. Barulah pada tahun 1995 lalu, kelompok peneliti dari Universitas Harvard di Cambridge-Massachussets, di bawah pimpinan Prof. Dr. Rob Rye mematahkan teori karbondioksida tsb.
Diketahui, jika Karbondikosida bereaksi dengan oksida besi, tanpa kehadiran oksigen, akan terbentuk mineral besi-karbonat yang disebut Siderite. Reaksi untuk memicu terbentuknya mineral Siderite, membutuhkan konsentrasi gas karbondioksida sekitar delapan kali lipat dari konsentrasi gas karbondioksida sekarang ini. Akan tetapi, penelitian geologi dari zaman pra-Kambrium sekitar 2,3 milyar tahun lalu, samasekali tidak menemukan mineral Siderite. Artinya konsentrasi gas karbondioksida purba, jauh lebih sedikit dari saat ini.
Methanogen
Ternyata yang memanaskan Bumi, di zaman itu adalah gas Methan. Mikro organisme yang disebut methanogen, yang hidup dalam habitat bebas oksigen, memproduksi gas methan yang cukup untuk memanaskan Bumi, agar tidak membeku. Untuk menciptakan efek rumah kaca sekuat itu, para peneliti dari NASA, memperhitungkan konsentrasi karbondikosida di atmosfir sekitar dua persen. Artinya, diperlukan volume gas karbondioksida 50 kali lipat dari volume saat ini. Tapi hanya dibutuhkan 0,1 persen konsentrasi gas Methan, untuk menjada agar Bumi tidak membeku.
Selama sekitar dua milyar tahun, mikro organisme methanogen berkembang biak di Bumi yang dipenuhi aktivitas vulkanisme. Methanogen mengkonsumsi karbondioksida dan hidrogen, yang dimuntahkan gunung api, dan memproduksi gas methan sebagai produk buangan. Selama milyaran tahun konsentrasinya menjadi cukup besar, untuk menyebabkan efek rumah kaca dan pemanasan global di Bumi. Diperkirakan, suhu Bumi ketika itu, rata-rata 33 derajat Celsius atau jauh lebih panas ketimbang suhu rata-rata selama 100.000 tahun terakhir ini. Ketika produksi gas methan melebihi konsentrasi satu promile, sistem thermostat global di atmosfir bekerja, dengan mengubah methan menjadi rantai polymer panjang yang menghalangi cahaya matahari. Terjadi semacam penyejukan suhu global.
Akibatnya, pada zaman Kambrium yakni sekitar 542 juta tahun lalu, terjadi apa yang disebut eksplosi biologi di permukaan Bumi. Dalam artian, tiba-tiba keanekaragaman hayati meningkat secara drastis. Dalam waktu hanya 40 juta tahun, jumlah biomassa yang menjadi cikal bakal organisme modern semakin banyak jenisnya. Pemicunya diduga emisi oksigen ke atmosfer, yang membunuh mikro-organisme methanogen, tapi memunculkan semakin banyak organisme lain yang berderajat lebih tinggi.
Thermostat alami
Juga yang amat menarik, Bumi ternyata memiliki thermostat alami lainnya, yang mencegah fluktuasi temperatur secara dramatis. Yakni sistem sirkulasi Karbonat-Silikat global. Seperti diketahui, sekitar 60 persen dari seluruh mineral di Bumi adalah keluarga silikat. Karbondioksida yang terurai dalam air hujan, membentuk ikatan dengan Kalsium dari lapisan batuan silikat, menjadi senyawa kalsium-hidrogen-karbonat yang kemudian biasanya terbawa aliran air ke laut. Sedimennya kemudian mengendap di dasar lautan. Sedimen di dasar laut itu, juga tidak statis, tapi terbawa oleh gerakan kerak Bumi.
Di jalur-jalur penujaman, gas rumah kaca karbon dioksida kembali dilepaskan ke atmosfir. Sirkulasi gas karbon dioksida ini, membentuk semacam thermostat yang juga mengatur suhu Bumi. Akan tetapi, situasi di alam tidak sepenuhnya dalam kondisi setimbang. Berkali-kali Bumi mengalami apa yang disebut runtuhnya sistem iklim secara tiba-tiba. Jika sistem thermostat kollaps, Bumi mengalami zaman es global. Apa yang terjadi di zaman Kambrium diduga juga merupakan dampak dari zaman es global itu. Ketika Bumi mendingin, organisme penghasil oksigen berkembang biak mendesak organisme methanogen.
Mesin iklim Bumi, yang dipengaruhi intensitas energi matahari, serta komposisi keanekaragaman hayati dan aktivitas Bumi sendiri, terus bekerja hingga kini. Bedanya, di zaman modern ini, aktivitas manusia sangat mempengaruhi komposisi gas rumah kaca di atmosfir. Gejala pemanasan global kini mulai muncul dengan jelas dimana-mana. Kacaunya pola iklim, bencana alam, kebakaran hutan, mencairnya lapisan es di kutub atau naiknya muka air laut, merupakan tanda-tanda perubahan iklim secara dramatis. Pemicunya, yakni manusia, juga ketakutan akan dampak aktivitasnya.
Efek pemanasan global
Dipertanyakan, bagaimana nasib Bumi jika pemansan global terus terjadi. Para pakar geologi mengatakan, model komputer yang dibuat, menunjukan Bumi masih akan eksis selama beberapa milyar tahun lagi. Kondisi Bumi pelan-pelan akan kembali ke kondisi pada awal terbentuknya. Dalam waktu satu setengah milyar tahun lagi, suhu Bumi diperkirakan akan mencapai rata-rata 70 derajat Celsius.
Akibatnya jumlah keanekaragaman hayati, akan kembali ke kondisi di zaman pra-Kambrium, yakni menyusut tajam dan melulu terdiri dari binatang bersel tunggal yang tahan panas ekstrim. Tahun 1967 lalu, pakar astrofisika Jerman, Albrecht Unsöld meramalkan, dalam 3,5 milyar tahun mendatang, intensitas Matahari akan meningkat empat puluh persen. Bumi yang bersuhu super panas akan kering kerontang dan semua kehidupan musnah. Ketika matahari berubah menjadi bintang raksasa merah, yang menelan hampir semua planet di tata surya, kehidupan sudah musnah tiga milyar tahun sebelumnya. Jadi manusia tidak perlu khawatir, karena dipastikan tidak akan ada lagi yang dapat menyaksikan kiamat tsb.
[dw-world.de]
Posting Komentar